Banyak manusia mengumpulkan pundi-pundi moralitasnya hanya karena sebuah masa depan yang cerah. Dengan mendulang keakraban, menjaga nilai humanismenya, akan dipamerkan pada masyarakat yang pluaralis.
Anehnya, schedule yang sudah tertata rapih, malah selalu berhimpitan dengan persoalan yang tidak diinginkan oleh manusia-manusia itu. Dampaknya apa? pembenaran akan rekayasa semakin dipertajam, seolah pembalikkan fakta merupakan hal yang paling konkret dalam masyarakat yang pluralis tersebut.
Pada lingkup yang sempit saja, ada sebagian orang tua yang merasa tersaingi oleh anaknya sendiri. Berbagai cara dikedepankan agar jiwa seorang anak termutilasi (tersayat-sayat dengan sendirinya). Perasaan cemas, dosa bercampur amarah tercermin pada anak, hingga ‘pembom bardiran’ semakin seru menghujani atap gubuk mereka. “Lagi-lagi rekayasa sebagai realita”
Jangan heran untuk dewasa ini. Apalagi sudah terjadinya perubahan era yang semakin kuat. Basis modern versus pra modern, ‘konon kata mereka’. Sebagai momentum perihal pembudakan akal yang sehat, si anak akan bertingkah sebaliknya. Berbagai cara mereka usungkan agar pembenaran selalu membodohi mereka dan kesalahan yang mendasar ia putar balikkan kembali. “Lagi-lagi rekayasa sebagai realita”
Lalu kemudian dimanakah langkah yang tepat? agar benang merah selalu menghubungkan keduanya. Atau mungkin dirajut sekalian, tak hanya omong kosong belaka yang sering didengar. Kemungkinan terbesar, perubahan demikian akan berdampak pada negara yang berpredikat sebagai negara kelima dalam perspektif KePaRad (Kelompok Patriotik Radikal), karangan E.S.Ito dan marilah kita doakan selalu. Amien
Sumber:http://filsuf.blog.mediaindonesia.com/2008/11/05/rekayasa-sebagai-realita/
Anehnya, schedule yang sudah tertata rapih, malah selalu berhimpitan dengan persoalan yang tidak diinginkan oleh manusia-manusia itu. Dampaknya apa? pembenaran akan rekayasa semakin dipertajam, seolah pembalikkan fakta merupakan hal yang paling konkret dalam masyarakat yang pluralis tersebut.
Pada lingkup yang sempit saja, ada sebagian orang tua yang merasa tersaingi oleh anaknya sendiri. Berbagai cara dikedepankan agar jiwa seorang anak termutilasi (tersayat-sayat dengan sendirinya). Perasaan cemas, dosa bercampur amarah tercermin pada anak, hingga ‘pembom bardiran’ semakin seru menghujani atap gubuk mereka. “Lagi-lagi rekayasa sebagai realita”
Jangan heran untuk dewasa ini. Apalagi sudah terjadinya perubahan era yang semakin kuat. Basis modern versus pra modern, ‘konon kata mereka’. Sebagai momentum perihal pembudakan akal yang sehat, si anak akan bertingkah sebaliknya. Berbagai cara mereka usungkan agar pembenaran selalu membodohi mereka dan kesalahan yang mendasar ia putar balikkan kembali. “Lagi-lagi rekayasa sebagai realita”
Lalu kemudian dimanakah langkah yang tepat? agar benang merah selalu menghubungkan keduanya. Atau mungkin dirajut sekalian, tak hanya omong kosong belaka yang sering didengar. Kemungkinan terbesar, perubahan demikian akan berdampak pada negara yang berpredikat sebagai negara kelima dalam perspektif KePaRad (Kelompok Patriotik Radikal), karangan E.S.Ito dan marilah kita doakan selalu. Amien
Sumber:http://filsuf.blog.mediaindonesia.com/2008/11/05/rekayasa-sebagai-realita/
Labels:
Artikel
Thanks for reading REKAYASA SEBAGAI REALITA. Please share...!
0 Komentar untuk "REKAYASA SEBAGAI REALITA"
Tanggapan Anda Gimana?